Friday, July 01, 2005

Musik Klasik Mencetak Anak Kreatif

Selama ini tanpa kita sadari sistem belajar di hampir semua sekolah telah menyebabkan para siswa menjadi stres. Dengan penekanan waktu belajar yang panjang, penyelesaian tugas yang lebih banyak kontrol, mengakibatkan pikiran mereka yang tengah berkembang terkalahkan oleh perasaan takut, ragu dan cemas. Parahnya sistem pendidikan kerap diprogram dengan memfokuskan pada hasil akhir, bukan pada proses pembelajaran. Namun kenyataannya anak-anak bukanlah mesin yang tidak berperasaan. Mereka tidak mencerna masukan seperti komputer yang menelan data. Cara mereka memperoleh informasi sangat dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar, emosi, dan dorongan intuisi. Apabila aspek-aspek pembelajaran yang lebih manusiawi itu diabaikan, anak-anak sering mogok dan menjadi kacau. Mayoritas diantara mereka berprestasi buruk karena dipaksa belajar dengan mengikuti aturan yang kaku.
Oleh karena itu melalui pengalaman pribadi dan hasil riset, Stephanie Merrit (penulis buku) mengajak kita semua memecah semua keruwetan itu. Menurutnya anak-anak adalah penyair dan pelukis, penemu serta tukang dongeng. Mereka berani mengungkapkan diri. Sayangnya proses pendidikan yang dirancang saat ini sering menghacurkan spontanitas mereka, sebelum spontanitas tersebut punya kesempatan untuk berkembang. Ruang kelas acap menjadi wilayah yang sia-sia.
Maka yang terjadi kemudian adalah kemacetan dalam pembelajaran. Selama ini pembelajaran selalu dikaitkan dengan kesempurnaan. Misalnya menggambar, harus pakai pensil dulu, digaris dulu. Seharusnya tidak demikian. Belajar adalah ekspresi. Dengan menggunakan musik, diharapkan belajar menjadi santai, menyenangkan, sehingga mendorong kebebasan berekspresi.
Musik laksana oli, membuat sesuatu yang awalnya macet menjadi longgar dan lapang. Kelapangan tersebut bukan melulu terkait dengan stres saja. Stephanie juga mengatakan bahwa karena kelapangan itu muncullah kreativitas. Seseorang pada dasarnya menjadi tidak kreatif karena terkekang, tidak bisa mengemukakan gagasan atau ide. Musik bisa menjadi katup pelepas sehingga yang macet-macet menjadi lancar.
Sebuah kisah menarik diceritakan dalam buku ini. Suatu pagi, StephanieĆ¢€”yang ketika itu bekerja sebagai guruĆ¢€”bersiap memulai pelajaran, ia menyaksikan murid-muridnya loyo, tidak bersemangat dan daya tangkapnya rendah. Lalu Stephanie menanyakan apa yang mereka makan sebelum berangkat ke sekolah. Ternyata mereka semua makan makanan yang penuh gizi. Kemudian dia menanyakan lagi, musik apa yang mereka dengar tadi pagi. Sebagian besar murid menyebutkan aneka macam kelompok heavy metal. Sejak itulah Stephanie menyarankan muridnya untuk mendengarkan musik klasik. Selang satu minggu ternyata hasil belajar mereka meningkat secara signifikan.
Pengalaman menarik juga dituangkan Addie M.S. dalam pengantar buku ini. Ketika mempunyai anak pertama, ia belum menyadari manfaat musik. Barulah saat istrinya mengandung anak kedua, ia sadar bahwa musik bukan semata-mata untuk kesenangan orang dewasa, melainkan berguna untuk perkembangan anak. Karena itu, Tristan (anak keduanya) diperkenalkan pada musik klasik sejak dalam kandungan. Hasilnya dia lebih lentur, cepat tanggap, dan kemauan belajarnya tinggi daripada kakaknya.
Dari sinilah, sejak tahun 1998 Addie M.S kemudian mulai berkonsentrasi menyapa generasi muda dengan mengenalkan musik klasik. Bersama Twilite Orchestra (TO) ia tampil di sekolah-sekolah tidak dalam format konser, tetapi hanya bermain dalam kelompok-kelompok kecil. Menurutnya hampir 20 ribu murid yang menyaksikan pertunjukannya, dan sebagian besar adalah murid SD. Suami penyanyi Memes ini juga merasa iri melihat di negara-negara maju bahwa musik klaisk tak lagi dilihat dari Barat atau Timur, tetapi telah menjadi alat untuk menciptakan generasi yang qualified, yang produktif. Sementara kita masih asyik-masyuk berdebat bahwa itu tradisi Barat, dan kita punya budaya Timur.
Berpuluh-puluh komposisi klasik disebutkan dalam buku ini. Namun, ada lima komposisi yang paling direkomendasikan oleh Stephanie Merrit, yaitu Bradenburg Conterto No.1 dari Bach, Prelude to the Afternoon of a Fun dari Debussy, Eine Kleine Nachmusik dari Mozart, Cannon in D dari Pachelbel dan The Four Seasons dari Vivaldi.
Buku ini memberikan cakrawala baru bagi para orang tua, yang sekaligus pendidik pertama, dan para guru yang sesungguhnya juga menjadi orang tua. Stephanie mengupasnya secara jelas, tetapi hangat dan mengilhami. Didalamnya tersaji pelatihan-pelatihan musikal pada akhir setiap bab yang mengajak para pembaca untuk merasakan sendiri kekuatan musik dalam membangun imajinasi dan kreativitas. Penulis: Ratna Saidah Jawa Pos, tanggal 2003-08-03

No comments: